Kamu, Rena..
Seharusnya aku yang harus lebih
peka dalam membaca sebuah isyarat.
Dan terlambat
menyadari bahwa dekat ini tak lagi erat.
Seharusnya aku yang lebih
memahami.
Bahwa di balik tajam tatapan matamu, ada gundah yang memaksamu untuk
tak lagi singgah.
Atau di balik senyummu yang
sering mengusik imaji,
ada resah yang membawamu menuju kehilangan sebuah arah.
Ah sudahlah, jika sudah tak
sejalan memang ada kalanya untuk merelakan sebuah kepergian.
Memintamu untuk kembali? Ibarat
menggenggam sebuah belati.
Semakin erat aku menahanmu, semakin pedih pula jika
kau telah berlalu.
Seiring waktu yang berlalu, kita
kan temukan jalan yang lebih baik.. Semoga..
Bersama lagi?
Ah aku tak terlalu
peduli, aku hanya ingin berterima kasih karena kau pernah mencintaiku dulu..
Pernah kita menjadi dua jauh yang
saling mendekatkan.
Dua kelemahan yang saling menguatkan.
Bahkan dua do’a yang
senantiasa menghangatkan, dalam sebuah kisah, dalam sebuah kasih.
Aku tak memintamu untuk mengingat
jika kau terlalu bahagia dengan apa yang kau jalani sekarang.
Seharusnya kita saling mendewasakan,
bukan terlalu sibuk menipu diri dalam sebuah ikatan..
Dan bukan berarti dengan membuka
semua kotak kenangan, seseorang belum sanggup untuk melupakan.
Mungkin perlahan lahan, ia mulai
mengikhlaskan..
Andi
dan Rena, dalam getir dunia mereka.