Pemilik Blog

Foto saya
"JADILAH PETUALANG SEJATI. MAKA, KEGAIRAHAN HIDUP DI ATAS SEGALA TRAGEDI, MENGUBAH MAUT MENJADI SUATU KENIKMATAN"

Jumat, 08 November 2013

Merbaboe 5-6 Oktober 2013. Senja dan Anginmu.

“Angin itu tak terlalu jelas darimana asalnya. Entah dari kaki bukit atau puncak gunung, aku tak terlalu paham. Malam itu, diatas 2700 Mdpl, Merbabu berikan kisah..”

Kulihat jam tanganku menunjukkan pukul setengah sebelas malam. Mencoba memejamkan mata namun tak sanggup, mencoba menikmati pemandangan sekitar itu tak mungkin lagi. Sesekali aku beranjak dari ponco yang kujadikan alas tidur itu, untuk melihat kondisi teman teman Tim Statistik yang berada di dalam ruangan pemancar, maupun yang tidur sekenanya di bawah naungan bintang gemintang. “Syukurlah, mereka masih baik baik saja”, gumamku dalam diam. Terlihat Aryono sudah tak berbentuk, entah dia memakai jaket berapa, plus sleeping bag, dan ponco yang sengaja aku lilitkan untuk menahan angin dari tubuhnya, membuatnya lebih mirip seonggok sampah daripada manusia yang sedang tertidur. Aku tak melihat Mas Catra, Mas Afri, dan Mas Angga Desti, aku tak terlalu cemas, mereka mungkin bisa bertahan dalam cuaca yang “baik” ini. Setelah menata “tempat tidur”, aku mencoba merebahkan tubuh ini sebisanya, sekadarnya, sekenanya. Alih alih ingin memejamkan mata, yang ada malah mengingat ingat apa yang telah terjadi dari pagi sampai malam hari ini..

Sabtu, 5 Oktober 2013.
Hari ini ada yang tidak beres, aku sepagi ini, lebih pagi dari alarm yang biasanya menjadi pengantar di pagi hariku. Dengan mengambil tas daypack yang telah kuisi dengan kotak P3K, aku bergegas pergi menuju kontrakan temanku. Setibanya, aku melihat Carrier setinggi separuh tubuhku itu menanti untuk dipanggul. Kulihat teman teman yang lain juga menyibukkan diri mempersiapkan barang bawaan mereka. Tanpa banyak drama, aku menuju GSG Undip, tempat yang dijadikan titik awal pemberangkatan yang telah dijanjikan, dan menunggu teman teman yang lain datang.
Setibanya disana, sudah ada Rasyid dan truk, Mas Agung Waluyo, dan beberapa cewek yang mengerumun menyendiri di bawah pohon. Aku melihat Ransel mereka semua terisi penuh, semoga saja mereka semua membawa peralatan yang ada dalam daftar barang yang telah kuberikan. Sambil mondar mandir dan menjarkom teman teman yang lain, mereka satu per satu datang dan kelewat dari batas waktu yang telah ditentukan. Ah, memang budaya kita dimana janjian jam 7 akan datang satu jam setelahnya. “Ayo kumpul sebentar buat briefing, cepetan!” , teriak Ariyo kepada temen temen yang lain. Setelah semua berkumpul, briefing,  dan dengan semangat yang masih utuh, kita berangkat.
Merbabu! Itulah tujuan kita dalam perjalanan kali ini.
Ekspedisi ini diikuti oleh 27 orang. Tujuh belas laki laki, yang diantaranya sudah pernah naik gunung, dan sepuluh cewek cewek perkasa yang sebelumnya aku prediksi tidak ada yang mau mengikuti pendakian ini. Ah, merepotkan, baru kali ini mendaki dengan orang sebanyak ini. Baru kali ini, mendaki gunung harus diribetin masalah proposal dan lobby melobby. Biasanya kalau naik gunung tinggal naik kan.. Ribet.. Sungguh ribet..

Pukul 10.00 WIB, di saat teman teman yang lain sudah menunggu di Kopeng, aku dan si Firdha a.k.a Oneng, masih asyik dengan segelas es teh dan beberapa potong gorengan hasil dari sepik sepik si Oneng ke temennya. Kami sengaja memisahkan diri dari rombongan truk, dengan niat mengambil tenda doom titipan temennya Oneng.  Tak berlama lama lagi karena beberapa sms masuk dari beberapa teman yang ternyata sudah menunggu di daerah Kopeng, aku dan Oneng langsung menyusul mereka yang ternyata sudah sampai duluan di Basecamp Mandala, point pertama dari jalur Pendakian Gunung Merbabu via Cuntel, Kopeng, Salatiga. Setelah perjalanan menuju Basecamp Cuntel, bertemu teman teman yang lain, segera saja aku urus akomodasi masalah konsumsi dan bertemu Mas Joko (yang ngurusin basecamp), sementara si Rasyid, Ariyo, dan Rifki menyibukkan diri dengan beberapa lembar Soekarno Hatta. Sesekali aku memandangi Puncak Gunung Pregodalem yang lebih akrab dengan Pos Pemancar. “Mereka tak tau apa yang mereka hadapi nanti, Gusti paringono slamet, Gusti paringono slamet.”.

Pukul setengah 1, si Ariyo menyuruh temen temen yang lain untuk melakukan persiapan. Beberapa dari temen temen ada yang membenarkan packing, sholat, sementara aku dan si Aryono masih mencari toilet di daerah Kopeng. “Cepet ndes munggah”, sms yang aku terima dari Ariyo aku hiraukan karena perut lagi melilit lilit mulesnya.  Setengah jam lagi, aku harus kembali ke Kopeng guna mengkoordinir teman teman yang lain. Dan benar, setelah shalat dan melepas hajat, aku dan Aryono menggeber motor kembali menuju Basecamp Pendakian. Sesampai disana, mereka semua sudah bersiap.. Aku tentram sesaat, kupandangi raut wajah mereka satu persatu, mereka semua masih semangat. Aku harap itu selalu ada..

Satu jam selanjutnya. Setelah briefing kecil dan pembagian regu pemberangkatan, dan dengan ritual berdoa yang tak akan pernah aku lewatkan sebelum melakukan sebuah perjalanan. Entah, aku tak berharap banyak pada pendakian kali ini, hanya saja kita semua satu tim, 27 orang, akan kembali di tempat awal di mana kita berkumpul, tanpa berkurang satu tubuh-pun, tanpa berkurang satu orang-pun. Kulihat raut wajah mereka satu per satu, masih ceria. Hanya aku yang merasa cemas, entah, aku tak tahu. Kulihat ke atas, langit tak terlalu cerah, awan awan itu mulai bergerak perlahan menuju kea rah matahari terbit. Sekali lagi, kuharap semuanya akan berawal dengan baik, berakhir dengan baik..
Ribetnya Briefing sebelum mendaki. Berdo'a jangan lupa.

Perjalanan terbagi menjadi tiga regu. Pembagian regu ini sebenarnya bertujuan untuk memudahkan koordinasi antar anggota, tapi itu semua hanyalah mitos ketika di tengah tengah perjalanan menuju pos bayangan satu, regu kedua mulai tidak bisa menjaga jarak dari regu pertama. Dan kebetulan sekali, ketika kulihat regu ketiga, ada temen cewek yang hobinya break. Terpaksa aku harus berada di regu ketiga, dan “ngopeni” salah satu anggota yang sudah kelelahan.  Ah biasa, mungkin karena baru pertama mendaki, tidak apa apa, mungkin nanti akan terbiasa. Dari tiga regu, kini tim pendakian terbagi menjadi dua regu saja,  temen temen cowok dan beberapa temen temen cewek juga jalan dengan lumayan cepat sementara saya di regu kedua masih jalan santai bersama temen temen cewek yang lain dan beberapa senior yakni Mas Catra dan Mas Angga Saputra yang mungkin lebih pengertian daripada temen temen cowok yang jalan duluan di regu pertama. Hehe.. “Ah ini baru perjalanan. Kekuatan terbesar bukan ketika kamu cepat dalam urusan mencapai sebuah tempat, tetapi ketika kamu harus bersabar untuk berada pada suatu keadaan”, gumamku yang biasanya hobi ninggalin temen temen jauh di belakan dengan modus sebagai penunjuk jalan..

Setengah empat, aku mulai memperhatikan keadaan sekitar dan memastikan bahwa ini pos bayangan dua. Ini pertanda baik, sesuai perkiraanku. Aku tak pernah luput memperhatikan raut wajah mereka satu persatu. Meskipun aneh, tapi melihat sisi “lain” dari seseorang itu sangat menyenangkan. Kulihat juga si Dita yang sudah mulai membaik. Dan beberapa teman teman yang bercanda karena ada kancut yang tersangkut, atau sengaja disangkutkan di ranting pohon oleh pendaki lain. Seperti biasanya, di sela sela candaan teman teman, aku yang panik melihat bak air yang ada disitu tak terisi air yang begitu banyak.  Langsung saja aku menghimbau teman teman yang lain agar menghemat persediaan air yang ada. Ah, ada ada saja, aku harap beberapa teman yang duluan juga berpikiran yang sama sepertiku setelah melihat isi dari bak tersebut. Ah ada ada saja..

“Mas, aku dhisik yo. Titip bocah bocah. Arep nggudak Sunset”. Percakapan itu kutujukan kepada Mas Catra saat di pos 2. Satu jam dari pos bayangan dua kami tiba di pos dua. Setelah melewati pos satu dengan jalur berpasir dan kemiringan hampir 40 derajat. Dan dari pos satu ke pos dua melewati jalur yang hampir sama dengan kemiringan yang lebih menanjak. Awan awan sudah berada di bawah tempat kami berpijak. Sembari rehat, kuputar lagunya Nidji-Di Atas Awan OST dari film 5 cm garapan sutradara Rizal Mantovani. Ah, senja itu tak seperti senja yang biasanya, damai di antara hembusan angin, damai di antara dekapan dingin. “Aku harus beranjak, aku tak boleh ketinggalan itu..”.
View from jalur cunthel dari pos 1 menuju pos 2.

Dari pos dua, aku meninggalkan teman teman yang ada di regu kedua. Bukan apa apa, aku hanya ingin mengejar Matahari terbenam di sela sela Sindoro Sumbing. View tersebut pernah aku dapatkan saat perjalanan turun pendakian Merapi beberapa bulan silam. Aku berjalan agak cepat hingga menyalip beberapa teman teman yang sudah duluan meninggalkan Pos dua terlebih dahulu. Ah, ternyata perkiraanku juga salah. Regu pertama ternyata terbagi lagi menjadi bagian bagian kecil. Ada Wiga, Ratih Ariyo dan Mas Wilis yang sempat aku temui ketika berjalan menuju Pos 3. Namun tak kulihat si Oneng, rupanya fisiknya mumpuni juga sampai sampai mengimbangi beberapa cowok yang mungkin sudah sampai Pos tiga duluan. Ada juga si Tedjo dan Rifki berjalan bersamaan, mungkin mereka tidak tahu itu jalannya benar atau tidak. Dan kebetulan sekali ketika hampir menyalip si Rasyid, aku menemukan sebuah spot yang sepertinya menarik untuk dijadikan tempat berfoto. Ah ternyata benar, setelah Si Rasyid aku jadikan kelinci percobaan dengan berpose di tempat tersebut, hasil fotonya lumayan. Lumayan nggatheli.. hehe. Kemudian datang si Rifki, si Ratih, si Wiga, yang meminta untuk dipotret secara bergantian. Tempat ini mengalihkan tujuanku sejenak untuk mengejar Sunset. Setelah beberapa foto terambil, aku melanjutkan perjalanan ke Pos 3. Kali ini bareng bareng sama Ratih dan Dewiga, beserta Mas Wilis yang kadang ada suaranya, tapi tak kulihat wujudnya.

Pos 3. Angin sore menerpa wajah wajah itu… (17.15)
Matahari perlahan mulai turun perlahan di sisi kiri Gunung Sumbing.  Angin bertiup perlahan menyapa rerumputan. Langit sore yang memerah terbias matahari , terbalut dengan awan awan putih yang melayang layang di atas cakrawala. Tuhan ada, dan menggetarkan nurani kita melalui sebuah senja…
Don't let the Sun down!  Hold it! Hold it!

Setelah berfoto foto ria dan menelanjangi matahari terbenam di ketinggian di atas 2000 mdpl. Teman teman bergegas melanjutkan perjalanan menuju tempat ngecamp. Matahari sudah turun sedari tadi. Hari mulai gelap, semoga tidak akan semangat mereka. Aku kembali mengamati raut wajah teman teman yang lain. Untuk perjalanan menuju ke Pos 4, Pemancar, aku harus lebih bersabar.  Ini nanti tak akan mudah, aku mengambil posisi sebagai sweeper, jaga jaga jikalau langkahku terlalu cepat dan meninggalkan teman teman yang lain. Seperti biasa, team dibagi menjadi dua lagi. Kali ini mas Catra dan mas Angga lebih dahulu karena ingin mencari spot untuk mendirikan tenda. Aku, Aryono, Rifki, mas Wilis, dan mas Angga’10 adalah cowok yang tersisa untuk mengawal sepuluh cewek yang menjadi bagian dari team pendakian Gn. Merbabu. Ah, aku harap tidak ada yang tersesat dan berkurang, tapi aku akan lebih panik lagi jika anggota pendakian bertambah.

Pukul Setengah Tujuh Malam

“Nanti kalau ada angin, jangan jalan dulu ya. Berhenti di tempat kalian berdiri. Lindungi mata kalian, dan saling mengawasi teman teman yang lain”, aku menginstruksikan kepada teman teman untuk tetap waspada. Kurang lebih seperti itu. Malam itu, di tengah tengah perjalanan menuju pos 4, dengan track berbatu dan berpasir dengan kemiringan rata rata 50 derajat, kita kedatangan sebuah “teman”.  Angin mulai datang. Bukan angin mesra yang menyapa rerumputan di kala senja. Bukan juga angin pagi yang mengiringi embun untuk menyapa mentari pagi. Tapi angin yang membawa iklim kering dan bertiup kencang menerpa tubuh tubuh yang berjuang mencapai pos Pemancar. Aku tak dapat melihat raut wajah teman teman yang lain, aku harus mencari kegiatan yang lain yang menyenangkan untuk dilakukan karena keseringan nge-break karena angin yang datang. Ini bukan lagi masalah fisik lagi, tapi ini masalah mental. Kalian sedang diuji, begitu juga denganku. Ternyata sunset sore tadi harus dibayar dengan perjuangan yang “menyenangkan” untuk mencapai pos Pemancar. Setelah 2,5 jam dari Pos 3, tertatih tatih di track berpasir, dengan semangat yang ada dan raut wajah yang letih. Kami sampai di Pos Pemancar dengan selamat, dengan team yang utuh,namun dengan cuaca yang tidak begitu baik.
Angin yang bertiup terlalu kencang tidak memungkinkan bagi kami untuk mendirikan tenda. Dan teman teman yang tadi sampai duluan di Pos 4, ternyata juga telah didahului oleh pendaki lain terkait dengan masalah ruangan yang ada di dalam pemancar tersebut. Mau tak mau, kami harus berbagi. Terbiasakan dengan ketidak nyamanan malam hari ini. Ada teman teman yang memasak mie, ada juga yang mencoba masak roti bakar, namun tidak jadi roti. Ada juga yang memilih untuk langsung tidur. Ada juga yang memilih untuk mondar mandir melihat keadaan sekitar. Biasakanlah kawan, biasakan, malam ini akan berlangsung terlalu lama bagi kalian yang tidak bisa menikmatinya. Kami sampai di Pemancar pukul delapan malam WIB. Setidaknya hanya itu yang mampu meredakan keresahanku, kita sampai di Pemancar sesuai dengan waktu yang telah diperkirakan.

Minggu, 6 Oktober 2013.

Dini hari pukul setengah dua, angin masih saja bertiup tanpa mengenal kata perlahan. Kulihat saat itu Aryono semakin tak berbentuk. Mencoba menyapa Tedjo yang samar samar masih kudengar suaranya, si Rasyid juga masih terjaga. Mereka berdua tidur di luar ruangan pemancar karena di dalam sudah tidak memungkinkan lagi untuk berbagi. Malam seperti ini, malam yang kuharap akan cepat berakhir, berganti dengan pagi yang mungkin akan membuat suasana menjadi lebih baik. Tapi semakin kita berharap seperti itu semakin lama saja rasanya detik berganti. Ah sudahlah.. Nikmati saja..

Masih dini hari, saat itu jam tanganku menunjukkan pukul setengah tiga. Tepat dimana suhu sedang dingin dinginnya, ditambah angin yang berhembus dengan sekencang kencangnya. Aku berpikir bahwa daripada diam kedinginan,lebih baik berkeliling untuk mendapatkan kehangatan. Aku beranjak dari “tempat tidur”ku, dan sekali lagi di sela sela dinginnya, Merbabu berikan pesonanya. Dari pemancar ini, Salatiga menyapa dengan mesra melalui bias lampu kotanya. Keindahan seperti ini masih buatan manusia. Mencoba mendongak ke atas, dan kutemui gugusan bintang gemintang, indah berkilauan, seperti tambang permata yang ada di dalam gua. Terkadang beberapa bintang jatuh menambah kesan damai saat memandangi dari dasar bentangan cakrawala. Kuputar pelan pelan lagu Jagostu, “Tuhan Berbicara Lewat Alam”. Ah, memang benar, Tuhan tak perlu terlihat, hanya yang terlihat yang mampu membuktikan keberadaan Tuhan.. Ini baru keindahan racikanNya..

Dini hari pukul setengah lima. Cakrawala mulai samar samar terlihat di belahan langit bagian timur. Menunjukkan bahwa mentari tak akan berlama lama lagi bersembunyi di balik tumpukan awan. Tampak barisan puncak Gunung Merbabu mulai menunjukkan kemegahannya. Ah, sekali lgi, Terima Kasih Tuhan. Namun anginnya juga tak kunjung reda. Sekedar berjalan mondar mandir sambil mencari panas tubuh, kutanyai Mas Arif yang saat itu sepertinya masih nyaman dengan sleeping bagnya. Ah sudahlah, aku tidak perlu memaksa. Mungkin nanti pagi, ketika matahari mulai ada, sang angin sudah mulai beranjak reda. Saat itu Yogi dan Viliyan yang sedang sibuk mencari tempat untuk pipis. Dan kutunjukkan saja ‘spot’ terenak untuk melakukan hal tersebut. Sembari menunggu matahari terbit, kami bercakap cakap, bercanda ala kadarnya, dan dini hari yang dingin itu, perlahan pudar ditelan pembicaraan kami. Ah, nikmati saja.. (lebay)

Menjaring sunrise di ketinggian 2700 mdpl (05.30). Meskipun bukan yang pertama, tapi aku tak pernah bosan. Matahari di pagi itu, sangatlah menyenangkan, menenangkan, mengingat apa yang telah menemani semalam, angin beserta antek anteknya. Kulihat satu persatu teman teman team pendakian Statistika mulai keluar dari bunker pemancar. Memang pagi itu masih dingin, karena sinar matahari, aku bisa kembali mengamati raut wajah teman teman yang lain (hobi yang menyenangkan).  Beberapa mengambil foto, beberapa menikmati pemandangan yang ada, dan masih ada yang memilih untuk beristirahat. Di sebelah barat, gumpalan awan berada persis di bawah mata kaki kami. Gunung Sumbing, Sindoro, dan Ungaran juga tak kalah eksotis. Sementara itu, barisan puncak Gunung Merbabu sudah menghiasi pemandangan di bagian selatan. Megah, dan jelas bukan buatan manusia.
Sunrise Over Pemancar, Merbabu..


06.30. Viliyan, Anton, Yogi, Rasyid, Mas Arif, Mas Hilman, Mas Omi, Mas Afri. Terimas kasih kawan, kalian telah membawa Himasta Ke Puncak Puncak Gunung Merbabu. Mereka ber-delapanlah yang akan mewakili Team Pendakian Gunung Merbabu untuk menjalankan summit attack ke puncak Kenteng Songo, dan Puncak Syariff. Atap Gunung Merbabu, sambutlah mereka dengan pesonamu. Mereka bergegas dari Pemancar, hanya membawa camdig, beberapa liter botol aqua, dan sekaleng Oxycan. Dan perkiraanku, mereka akan kembali ke Pemancar sekitar pukul setengah sepuluh. Mereka berangkat, dan teman teman yang lain sibuk mengambil gambar, beberapa ada yang melihat pemandangan sekitar. Sementara itu aku, duduk manis di depan perapian yang dibuat di dalam bunker pemancar sambil menunggu roti bakarku matang.  Doaku mengirimu teman, sampaikan salamku untuk Merapi yang akan kau lihat nanti. “Rasa penasaran akan menuntunmu ke tempat tempat yang sebelumnya tidak pernah kau jamah. Tapi imbangilah dengan persiapan yang sudah matang”

09.15. Mereka sudah kembali ke pemancar. Mereka berdelapan tidak kurang maupun lebih, Team Summit Attack Merbabu. Terima kasih kawan kawan. Semoga selain lelah yang kalian rasakan, kalian juga merasakan kehadiran Tuhan. Kulihat foto foto yang termabil di camdigku. Ada yang aneh, hanya beberapa orang yang sampai di Puncak Kenteng Songo. Hanya Viliyan, Yogi, dan Rasyid. Setelah ngobrol ngalor ngidul, ternyata selama perjalanan, mereka terpisah. Rasyid yang katanya naik gunung terlalu cepat, hanya bisa diikuti Viliyan dan Yogi yang membawa mereka sampai ke Puncak Kenteng Songo Merbabu 3149 mdpl. Dan yang lain, Mas Arif, Mas Hilman, Mas Omi, Mas Afri, dan Anton berhasil menjejakkan kaki mereka di Puncak Syariff 3119 mdpl. Di kedua puncak tersebut, Merapi bisa terlihat jelas, pemancar juga bisa dilihat dari kedua puncak tersebut. Dan Gunung Lawu yang tak ketinggalan menghiasi horizon langit bagian timur. Semoga kita tak akan pernah bosan berpetualang, melihat lembah dan bukit dari ketinggian, dan merasakan keberadaan Tuhan.
Dari kiri ke kanan : Rasyid, Viliyan, Yogi.
Puncak Kenteng Songo dengan backgroun gunung Merapi.

10.00. Team Pendakian hanya sampai di Pos Pemancar. Bagiku itu bukan masalah. Mungkin begitu juga dengan teman teman yang lain. Di raut wajah mereka tak terbesitpun sedikit rasa penyesalan karena tak mencapai puncak. Aku juga mengurungkan niat melanjutkan perjalanan ke Puncak Gunung Merbabu pagi ini. Angin masih bertiup dengan kencang, dan itu masih berlangsung dari tadi malam, sampai jam tangan menunjukkan pukul sepuluh pagi. Mataku tak kuat jika harus berjalan dengan cuaca seperti itu. Sementara debu debu beterbangan di hempas angin gunung Merbabu, kami bersiap bersiap  perjalanan turun menuju Basecamp pendakian Mandala. Team Summit attack Puncak Merbabu memilih tinggal sejenak di pos Pemancar,  kecuali si Rasyid yang lebih memilih untuk melakukan perjalanan turun. Pukul sepuluh lebih lima belas menit, kami menuruni Pemancar menju basecamp. Semoga sampai sejauh ini. Engkau masih memberkati. Amin

14.00. Basecamp Mandala Cunthel.  Ariyo menerima sms dari salah satu rekan yang tadi memilih tinggal sejenak di Pemancar. Isi pesannya kurang lebih mengabarkan bahwa mereka tersesat sampai Basecamp Thekelan. Bukannya panik, yang ada malah pada ketawa tawa. Aku tak terlalu cemas karena mereka laki laki semua. Aku langsung menjemput mereka yang tersesat di Basecamp Thekelan bersama Aryono, yang ternyata mereka malah asik asikan pesan makanan dan minuman di daerah Kopeng. Aku yang tak habis piker langsung saja kembali ke Basecamp mempacking barang barang.

16.00. Truk sudah tiba di basecamp Cunthel bebarengan dengan teman teman yang tadi nyasar sampai basecamp Thekelan. Sementara aku selesai mempacking barang, begitu juga teman teman yang lain. Mereka semua sudah sampai di Basecamp Mandala Cunthel dengan selamat dan tak kurang satu apapun. Terima kasih karena Engkau senantiasa menjaga. Lelah terpancar dari raut wajah mereka. Semoga Semarang masih menerima kedatangan kembali ke awal tempat kita berkumpul GSG UNDIP…
Team Pendakian Massal Statistika 2013. Merbabu, 5-6 Oktober 2013.

18.30. Semarang.. Terima kasih… Terima kasih Merbabu, untuk cerita di sela sela angin, pasir, hutan, dan bebatuan. Perjalanan bukan masalah kau berhasil mencapai tempat tujuanmu atau tidak, meskipun hanya beberapa. Inti dari sebuah perjalanan adalah ketika kau tak melupakan rumah dan keluarga sebagai tempatmu untuk berpulang. Jangan pernah berusaha menaklukkan puncak, yang butuh usaha untuk kita taklukkan adalah ego dari diri kita sendiri. Semoga kita berproses, dan menjadi manusia yang bijaksana. Aku tak henti mengucap syukur, terima kasih, telah kembali di tempat pertama dimana kita melingkar dan memanjatkan do'a.





1 komentar: